Selasa, 08 April 2014

Surat dikantung mataku


Banyak bulan yang kulumat dalam jejak kaki, banyak lumpur yang kucoreng di muka sendiri. Bagaimana kabarmu, wahai perempuan yang digerus usia?

Menghiasi wajahmu dengan jemariku, membuatku lumpuh oleh ingatanku sendiri. Bagaimana waktu menjelma menjadi kerutan-kerutan di wajah itu –kerutan yang tak lebih banyak dari doa-doa yang kaugelar di atas sejadah tuamu; bagaimana sungai-sungai pernah tercipta dari kedua mata itu –sebab, kepalaku lebih keras dari suaramu; bagaimana musim keduapuluh menjadi tragedi yang patut kaurayakan – sebab, gadis kecilmu tak perlu lagi pulang ke pelukan siapapun, selain milikmu.

Sesekali, biarkan aku memelukmu. Mungkin pada tawa yang lahir di tengah ruang atau ketika amarah menjadi kurcaci-kurcaci nakal yang mencacah isi kepala. Pada sinar matamu yang redup, atau bibirmu yang  terkatup; aku tak perlu menjadi siapa-siapa selain aku. Kau, mencintaiku utuh.

Surat ini tak kan mampu kautemukan di laci atau saku celanaku, kusimpan rapat ketika lidah melupakan fungsinya mengapa seharusnya ada; ketika kertas dan pena hanya jadi budak nilai tukar rupiah; ketika kata-kata hanya letupan bara yang menyesal namun tak sanggup berbuat apa-apa.

Biarkan pada surat yang kusimpan dalam kantung mataku ini, menjadi celah bagi sayap yang kuhempas terlalu tingi untuk memelukmu; untuk mengucap syukur, mengapa menjadi milikmu adalah anugrah yang berlebih dari penciptaku.

Mungkin kelak, surat ini bisa kaubaca. Ketika lenganku berbicara; ketika detakku berdansa dengan doa-doa atau ketika air bah di dadaku menemukan senyum banggamu di kedua mata.

Di detik yang tak pernah kita tahu kapan akan berhenti, biarkan kakiku memilih. Percayalah, tak akan ada lagi musim yang kubiarkan beku dalam tangisan ngilu. Mungkin ini yang keseribu, ketika inginku lebih getir dari senggama sang petir yang menggebu.

Tapi percayalah, ibu.

Aku mencintaimu.

Tertanda,

Gadis kecilmu yang kerap (melupa) pulang.

PAREIDOLIA


Aku bingung, surat cinta pertama harus kutujukan  untuk siapa. Pada langit, atau pada Tuhan?

Aku jatuh cinta pada langit, tapi langit itu milik-Nya…

Pagi ini aku tak lupa melihat ke arah mu, memastikan kamu masih di sana. Awalnya aku hanya melakukan nya setiap pagi hari. Tapi kemudian aku tak tahan untuk tak melihatmu setiap saat. Kamu indah. Orang-orang sekitarku mulai jengah, ketika kepalaku menengadah. Karena setelahnya, aku akan senyum-senyum sendiri dan -menurut mereka- aku tidak lagi berada di tempatku. Ya, aku memang tidak sabar untuk terbang ke tempat mu. Aku seekor burung kecil yang belajar terbang sendirian, demi sedikit lebih dekat dengan kekasih nya.

Endah bilang, dalam lagu When You Love Someone, ketika jatuh cinta, orang tak akan sabar menunggu malam tiba dan bertemu kekasih nya dalam mimpi. Aku tidak. Aku tak pernah bisa melihat mu dengan jelas dari kota yang menanam banyak sekali tiang lampu. Seorang teman pernah menunjukkan padaku foto langit malam yang ditangkap dari kamera nya, indah, aku melihat mu. Sayangnya, untuk dapat melihat secara langsung, aku harus pergi ke dataran tinggi dan menunggu sampai tengah malam. Mendaki gunung dan melawan dingin demi melihatmu di malam hari? Nanti sajalah, bekal cinta ku belum cukup.

Tapi aku khawatir, akhir-akhir ini langit berwarna abu-abu serupa tukang tipu, yang tidak pernah hitam ataupun putih. Aku jadi jarang melihat mu, jadi senewen seperti ibu-ibu yang pakaian nya tak kering-kering karena hujan turun tak tahu waktu. Angin juga sering mengganggu, maka lewat surat ini, aku harap kamu baik-baik saja.

Atau mungkin, cuaca buruk adalah tanda supaya aku berhenti menatapmu? Karena jujur saja, seiring waktu Pareidolia yang parah ini berbeda rasanya. Aku memang melihat senyuman dilingkaran sosok mu yang lucu, wajah tertawa mu yang bodoh itu, dan tangan kita yang saling erat kaku. Aku memastikan kamu ada di lembar biru milik Tuhan, mengawasi aku dari atas. Atau, aku memang tidak sedang jatuh cinta? Mungkin, pareidolia ku berbentuk cinta, karena aku ingin tetap jatuh cinta? Entah kenapa aku lebih yakin kemungkinan kedua.


Tapi aku akan tetap melihat langit pagi, besok. Untuk memastikan apa kamu memang tepat berada di atas langit kota ku, atau kota gadis-dengan-pareidolia yang lain.



Warmest regards,

From a little fairy who lost in the sky.



*Pareidolia yang dimaksud: melihat / menganalogikan bentuk-bentuk tertentu di langit, misalnya awan / gugusan bintang dengan bentuk yang familiar lainnya.

Senin, 07 April 2014

Halo, Tuan Petualang Melankolis!

Halo, Tuan.
Mungkin sudah banyak surat cinta yang datang hari ini, untukmu. Tapi aku sedikitpun tidak peduli. Bahkan aku bahagia, ternyata banyak yang mencintaimu melalui karya-karyamu. Begitupun aku.
Beberapa bulan yang lalu, aku tidak sengaja melihat akun sahabatku meretweet beberapa tweetmu. Entah karena isi tweetmu yang biru dan seragam dengan isi hatiku, atau hanya rasa penasaran, aku pun diam-diam mengintip dan saat itu juga memfollow akunmu.


Beberapa hari kemudian, rasa penasaran akan siapa sebenarnya dirimu kembali muncul. Terpancing beberapa tweetmu yang mengatakan bahwa kamu sedang melakukan sebuah perjalanan berkeliling Indonesia. Saat itu aku langsung mencari tau siapa sebenarnya dirimu melalui mesin pencari. Hey, are you traveler? Musician? Photographer? Or Writer? Atau mungkin lebih tepatnya, you’re a talented person! Tuhan telah menganugerahkan bakat yang luar biasa kepadamu. Pun dengan caramu bersyukur atas hidup yang luar biasa pula dengan menciptakan sebuah perjalanan. Perjalanan yang bukan sekadar membawamu ke tempat-tempat yang indah, perjalanan yang bukan sekadar membawamu berjumpa dengan orang-orang baru, tapi sebuah perjalanan yang memberimu banyak pelajaran berharga tentang kehidupan. Dan mulai saat itu, aku pun menjadi penggemarmu. Penggemar nomor satu.


Halo, Tuan.
Aku jatuh cinta dengan karya-karyamu. Dengan hasil jepretanmu tentang keindahan Indonesia yang menyimpan berbagai kisah, dengan tulisan-tulisanmu, pun dengan semua lagu yang ada di album 11:11 dan Tempat Aku Pulang. Taukah kamu, Tuan. Lagu-lagumu sanggup membuatku jatuh cinta dan patah hati sekaligus. Mungkin ketika ditanya, “Lagu Fiersa Besari mana yang menjadi favoritmu, Zizah?” aku pasti tidak bisa menjawabnya. Karena buatku, setiap lagumu mempunyai keistimewaan tersendiri. Dan entahlah, lagu-lagumu selalu mampu mewakili setiap perasaan yang aku miliki. Itu yang membuatku tidak bosan-bosannya menempatkan lagu-lagumu di playlist favoritku.


Halo, Tuan.
Mungkin saat ini, aku hanya bisa menjumpaimu melalui dunia maya. Mengagumi karya-karyamu yang luar biasa hanya dengan satu arah. Tapi aku berharap, suatu saat nanti kita bisa berjumpa. Dan aku bisa mendengarkan kisah perjalananmu, pun mendengarkanmu bernyanyi secara langsung. Ah, andai saja kotaku dan kotamu tak berjarak, Tuan. Mungkin akan lebih mudah menjumpaimu lalu mengucapkan terima kasih. Terima kasih untuk menyadarkanku akan suatu hal, bahwa Hidup kan Baik-Baik Saja.


Salam,
Penggemarmu nomor satu.


(Oleh zizahh untuk @FiersaBesari)